Beranda | Artikel
Adakah Penyakit Menular?
Kamis, 30 Agustus 2007

ADAKAH PENYAKIT MENULAR?

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin

Pertanyaan.
Seseorang bertanya tentang sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :

لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ

“Tidak ada ‘Adwa (penularan penyakit), Thiyarah (menganggap sial), Hamah, dan Shafar.” [Muttafaqun Alaih].

Apakah jenis nafyi (peniadaan) dalam hadits tersebut? Bagaimana menggabungkan antara hadits tersebut dengan hadits Nabi yang lain.

فِرَّ مِنَ الْمَجْذُوْمِ كَمَا تَفِرُّ مِنَ اْلأَسَدِ

“Menjauhlah dari penyakit tha’un (lepra) seperti kamu lari dari singa.”

Jawaban.
‘Adwa adalah penularan penyakit dari orang yang sakit kepada orang yang sehat. Sebagaimana hal ini terjadi pada penyakit hissiyah (nyata), hal itu terjadi juga pada penyakit  ma’nawiyah (abstrak) yang berkaitan dengan akhlak. Karena alasan inilah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa teman duduk yang jahat adalah seperti pandai besi, bisa jadi membakar pakaianmu, dan bisa jadi pula kamu mencium bau tidak sedap. Maka sabdanya, ‘Adwa mencakup penularan hissiyah dan ma’nawiyah.

Ath-Thiyarah adalah beranggapan sial karena sesuatu yang dilihat, didengar atau diketahui (seperti merasa sial jika melihat burung atau binatang tertentu dll, red).

Al-Hamah ditafsirkan dengan dua pengertian:

  • Pertama : Penyakit yang menimpa orang yang sakit dan menular kepada orang lain. Atas dasar pengertian ini, berarti ‘athafnya  kepada ‘adwa adalah  termasuk jenis ‘athaf yang khusus kepada yang umum.
  • Kedua: Jenis burung yang sudah dikenal dan diyakini bangsa Arab bahwa apabila ada orang yang mati terbunuh, burung hamah ini datang kepada keluarganya dan mengeluarkan suara di atas kepala mereka, sehingga mereka (keluarga yang meninggal, pent) bisa membalas dendam. Terkadang ada sebagian mereka yang meyakini bahwa ia adalah ruhnya dalam bentuk burung hamah. Ia adalah salah satu jenis burung yang menyerupai burung hantu, atau memang ia adalah burung hantu. Ia mengganggu keluarga yang terbunuh dengan suaranya, sehingga mereka membalas dendamnya. Mereka menganggap sial dengannya. Apabila ia bertengger di atas rumah seseorang dari mereka dan mengeluarkan suara, mereka berkata, “Sesungguhnya ia mengeluarkan suara dengannya agar ia mati.” Mereka meyakini ajalnya yang sudah dekat.

Shafar ditafsirkan dengan beberapa penafsiran:

  • Pertama: Ia adalah nama bulan Shafar yang sudah dikenal luas. Dan bangsa Arab menganggap sial dengan bulan Shafar ini.
  • Kedua: Sesungguhnya ia adalah penyakit di dalam perut yang menimpa unta dan menular dari satu unta kepada unta yang lain. Berarti ‘athafnya  atas  ‘adwa  adalah ‘athaf yang khusus kepada umum.
  • Ketiga: Shafar adalah bulan Shafar, dan maksudnya adalah penundaan bulan haram yang menyesatkan orang yang menunda. Mereka menunda haramnya (berperang) di bulan Muharram ke bulan Shafar yang mereka halalkan pada suatu tahun dan mereka mengharamkannya pada tahun lainnya.

Yang paling rajih adalah bahwa yang dimaksud bulan Shafar adalah di tempat mereka menganggap sial dengannya di masa jahiliyah dan beberapa zaman yang tidak memberikan pengaruh apa pun. Dan dalam takdir Allah Subhanahu wa ta’ala, ia seperti zaman lainnya, Allah Subhanahu wa ta’ala menentukan padanya kebaikan dan keburukan.

Sebagian manusia, apabila selesai dari pekerjaan tertentu di hari yang ke dua puluh lima dari bulan Shafar- umpamanya– ia mencatat hal itu dan berkata, “Kebaikan telah berhenti di hari ke dua puluh lima dari bulan shafar.” Maka ini termasuk mengobati (mengakhiri) bid’ah dengan bid’ah yang lain, kebodohan dengan kebodohan yang lain. Bulan itu bukan bulan yang baik, dan bukan pula bulan yang buruk. Karena alasan inilah, sebagian Salaf mengingkari kepada orang yang apabila mendengar burung hantu bersuara, ia berkata, “Insya Allah, baik.” Maka jangan mengomentari itu baik atau buruk. Tetapi ia bersuara seperti burung-burung lainnya.

Empat perkara yang ditolak oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini menunjukkan wajibnya bertawakkal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, cita-cita yang benar, dan janganlah seorang muslim menjadi lemah di hadapan semua perkara ini.

Sebagian orang ada yang membuka mushaf secara acak untuk mencari nasibnya. Apabila ia mendapati sebutan tentang neraka, ia berkata, “Ini adalah nasib tidak baik.” Dan apabila ia mendapati sebutan tentang surga, ia berkata, “Ini adalah nasib yang baik.” Sebenarnya perbuatan ini sama seperti perbuatan kaum jahiliyah yang membagi dengan undian.

Nafi (peniadaan) di empat perkara ini bukan penolakan keberadaannya, karena ia memang ada. Tetapi penolakan itu adalah penolakan terhadap pengaruh/efek. Yang memberikan pengaruh hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala. Apa pun di antaranya yang merupakan penyebab biasa, maka ia adalah sebab yang benar, dan apa pun di antaranya yang merupakan penyebab mauhum (ilusi) , maka ia adalah penyebab yang batil. Ia adalah penolakan terhadap pengaruhnya dengan sendirinya dan bagi penyebabnya.  ‘Adwa (penyakit menular) itu memang ada dan menunjukkan eksistensinya adalah sabdanya,

لاَ يُوْرِدُ مُمْرِضٌ عَلَى مُصِحٍّ

“Janganlah yang sakit dibawa kepada yang sehat.” [HR Al-Bukhari & Muslim]

Maksudnya, janganlah pemilik unta yang sakit membawanya kepada pemilik unta yang sehat, agar penularan penyakit tidak berjangkit. Dan sabdanya,

فِرَّ مِنَ الْمَجْذُوْمِ فِرَارَكَ مِنَ الأَسَدِ

“Menjauhlah dari orang yang menderita lepra (judzam), seperti engkau lari dari singa.” [HR Al Bukhari]

Judzam adalah jenis penyakit buruk yang menular dengan cepat dan membinasakan orangnya, hingga ada yang mengatakan bahwa itu adalah penyakit tha’un. Perintah melarikan diri agar jangan tertular penyakit. Dalam hadits tersebut merupakan penetapan adanya penularan penyakit, tetapi pengaruhnya bukanlah sesuatu yang bersifat pasti, di mana ia adalah sebab yang melakukan. Akan tetapi, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan menjauh dari penyakit lepra, unta yang sakit jangan dibawa kepada unta yang sehat karena menghindari sebab, bukan karena pengaruh segala sebab itu dengan sendirinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ 

“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” [Al-Baqarah/2 :195]

Jangan diucapkan bahwa sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan pengaruh ‘adwa; karena perkara ini ditolak oleh realitas dan hadits-hadits yang lain.

Jika dikatakan bahwa ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam  mengatakan “Tidak ada ‘adwa.” Seorang lelaki berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat anda tentang unta yang ada di padang pasir, lalu unta yang berkudis mendatanginya, maka unta tadi ikut berkudis? Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Siapakah yang menularkan pertama kali?”

Maka jawabnya, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  mengisyaratkan dengan sabdanya, “Siapakah yang menularkan pertama kali?” Bahwa penyakit menular dari yang sakit kepada yang sehat ini adalah karena kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Penyakit turun pertama kali kepada yang pertama tanpa ada penularan, namun turun dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Terkadang sesuatu itu adalah sebab yang sudah diketahui dan terkadang tidak ada penyebab apa pun. Kudis yang pertama tidak diketahui penyebabnya selain dengan takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan kudis yang sesudahnya mempunyai sebab yang sudah diketahui dan jika Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki niscaya ia tidak berkudis. Karena inilah, terkadang ada unta yang terkena kudis, kemudian terangkat (sembuh) dan ia tidak mati.

Demikian pula tha’un (lepra) dan kolera adalah penyakit-penyakit menular yang bisa masuk ke rumah, lalu menimpa sebagian penghuni rumah dan mereka meninggal dan yang lainnya selamat serta tidak tertular penyakit. Manusia berpegang dan bertawakkal kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Telah diriwayatkan bahwa.

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخَذَ بِيَدِ مَجْذُومٍ فَأَدْخَلَهُ مَعَهُ فِي القَصْعَةِ ، ثُمَّ قَالَ : كُلْ بِسْمِ اللَّهِ

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangi seorang laki-laki yang menderita penyakit kusta, lalu beliau memegang tangannya dan memasukannya bersama tangan beliau ke dalam piring. Kemudian beliau berkata kepadanya, Makanlah, dengan menyebut nama Allah (basmallah) ……” [HR Abu Dawud, At Tirmidzi dan Ibnu Majah].

Maksudnya dari makanan yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam makan darinya karena kuatnya tawakkal beliau. Maka tawakkal ini melawan sebab yang menular ini. Gabungan yang telah kami sebutkan adalah pendapat yang terbaik dalam penggabungan semua hadits. Sebagian orang berpendapat bahwa ini adalah nasakh (penghapusan hukum). Klaim ini tidak benar; karena di antara syarat nasakh adalah tidak bisa digabung. Apabila bisa digabung, maka wajib digabungkan ; karena hal itu adalah pengamalan terhadap dua dalil sekaligus, dan dalam nasakh adalah pembatalan salah satunya. Memfungsikan keduanya lebih utama daripada membatalkan salah satunya; karena kita mengakui eksistensi keduanya dan menjadikannya sebagai hujjah.

(Fatawa Al-Aqidah, Syaikh Muhammad Ibnu Utsaimin hal 564-568)

Disalin dari Buletin Annur – Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits,
Senin, 07 Agustus 06.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2216-adakah-penyakit-menular.html